Revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tak cuma menuai tarik menarik di pemerintah dan DPR. Proses revisi yang sudah berjalan sejak 2016 ini juga menjadi sorotan koalisi masyarakat sipil yang peduli akan HAM.
Undang-Undang ini dikhawatirkan membuat polisi bisa main tangkap tanpa bukti yang jelas terhadap terduga teroris. Tak menutup kemungkinan juga, karena UU ini akan semakin banyak tragedi salah tangkap oleh aparat penegak hukum. Agen Judi Online
Sekretaris Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani khawatir, definisi terorisme yang sedang dirumuskan oleh pemerintah dan DPR membuat penegak hukum abuse of power.
“Soal definisi ini menjadi penting karena Terorisme itu masih harus diturunkan dalam bentuk-bentuk tindakan yang memang memenuhi unsur-unsur pidana. Hal yang paling sederhana misalnya, memiliki relasi dalam bentuk komunikasi personal dengan teroris, apakah dikategorikan juga sebagai teroris? Atau mendukung tindakan terorisme? Masih absurd sampai di situ,” kata Julius kepada merdeka.com, Kamis (17/5).
Perdebatan definisi Terorisme sempat membuat revisi UU ini mangkrak. DPR awalnya ingin memasukan unsur politik dalam definisi itu. Tapi pemerintah menolak. Hingga akhirnya, disepakati pada pertemuan pimpinan parpol pendukung pemerintah dengan Menko Polhukam Wiranto pada Senin (14/5) kemarin.
Unsur politik artinya, seorang pelaku kejahatan bisa dikategorikan sebagai terorisme jika merusak obyek vital strategis, menimbulkan ketakutan yang massif, untuk mencapai tujuan tertentu utamanya di bidang politik.
Julius juga mengkritik pelibatan TNI. Dia khawatir akan ada tumpang tindih kewenangan antara Polri dan TNI dalam pemberantasan tindak terorisme.
“Belum lagi soal tumpang tindih dan saling silang tupoksi Polri dan TNI. Polri masuk ke ranah War Model, sementara TNI masuk ke koridor Criminal Justice System. Eksesnya ke banyak hal, mulai dari potensi penyiksaan, salah tangkap, overkriminalisasi, rekayasa kasus dan lain-lain,” kata dia lagi.
Di undang-undang terorisme yang baru ini, akan dibuat perluasan pidana materil. Poin pasal pidana materil ini digunakan untuk mentersangkakan seorang napi terorisme jika diindikasikan melakukan persiapan perbuatan untuk meneror.
Julius menyayangkan, DPR dan pemerintah terkesan memaksaan agar revisi ini segera disahkan Juni bulan depan. Menurut dia, harusnya DPR dan pemerintah membuka ruang bagi publik untuk diskusi dan memberikan solusi terkait UU ini.
Julius merasa, UU ini akan membuat Polri menjadi abuse of power. Bahkan parahnya, merusak hukum ketatanegaraan.
MAU MAIN POKER ONLINE? DAFTAR DAN BERGABUNG BERSAMA KAMI DI POKERNUSA.ME YANG MERUPAKAN AGEN POKER TERPERCAYA YANG MEMBERIKAN CASHBACK TERBESAR KLIK DISINI.
“Itulah kesesatan berpikir Pemerintah dan DPR. Bukannya justru membuka ruang publik seluas-luasnya dan menerima masukan sebanyak-banyaknya. Tapi menargetkan hanya dari segi waktu saja. Bukan substansi. Apalagi sampai ada ancaman Perppu dan diskursus soal parsialitas HAM. Ini konyol sekali,” kata Julius lagi.
Dalam revisi ini, tahanan bisa ditahan selama tujuh hari sejak ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka dugaan terorisme. Setelah tujuh hari, aparat bisa mengajukan penambahan masa tahanan menjadi 14 hari.
Masa tahanan tersangka terduga teroris sampai tingkat Mahkamah Agung (MA) mencapai 770 hari. Masa tahanan itu, lebih lama dibandingkan yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, setelah mendapat putusan yang bersifat in kracht, masa tahanan terpidana teroris tersebut dipotong selama 770 hari masa proses pemeriksaan dan peradilan.
“Iya (Abuse of power). Termasuk merusak sendi ketatanegaraan dalam konteks penegakan hukum,” tutur dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar